Senin, 25 Februari 2013

Kisah Seorang Nenek Sebatang Kara


Bulan yang dinanti-nanti umat muslim di seluruh dunia kini telah datang. Ramadhan suci dan penuh berkah telah kembali. Sebuah kisah datang dari seorang nenek yang hidup sebatang kara, bernama Nenek Ijah.
            Sore itu, Nenek Ijah pulang dari hutan setelah sejak tadi siang mencari kayu bakar. Nenek Ijah sangat rajin, walaupun usianya telah senja beliau mempunyai semangat hidup yang tinggi. Beliau tidak kenal lelah dalam bekerja. Karena beliau tahu penghasilannya hanya dari mencari kayu bakar yang kemudian dijual. Tetangga di sekelilingnya pun banyak menaruh seimpati pada Nenek Ijah. "Nek, baru pulang?". "Iya Nak.Ya beginilah nenek setiap hari. Nenek harus bekerja keras untuk makan dan menghidupi nenek sendiri." "Nenek yang sabar ya, Nek." "Iya Nak. Nenek pulang dulu ya belum menyiapkan makanan untuk buka puasa."
            Nenek Ijah melanjutkan perjalanannya ke gubuk tua sederhana miliknya. Sesampainya di rumah, beliau segera memasak untuk buka puasa. Ternyata tidak ada beras sebutir pun. Beliau lupa kalau cadangan berasnya habis. "Ya Allah…Tidak ada beras sebutir pun. Berikan rizki-Mu pada hamba Ya Allah." Sabar dan tabah itulah Nenek Ijah. Do'alah yang selalu menjadi pegangan hidup beliau. Karena beliau yakin dan percaya bahwa Allah tidak akan memberikan cobaan pada hamba-Nya melebihi batas kemampuan umat-Nya yang sedang diuji. Buka puasa kali ini beliau hanya ditemani lauk tempe dan tahu. Sangat-sangat sederhana, karena itulah Nenek Ijah yang memang selalu hidup dalam keserdahanaan.
            "Assalamualaikum Nek Ijah.", terdengar suara ketokan pintu. "Waalaikumsalam. Nak Andin, ada apa Nak?" "Ini Nek ada titipan dari Ibu." "Alhamdulillah. Terima kasih Ya Allah. Terima kasih Nak. Semoga Allah membalas kebaikan keluarga kalian." "Amiin Ya Robbal Alamiin. Ya sudah Nek, Andin permisi pulang dulu ya Nek. Assalamualaikum." "Waalaikumsalam. Hati-hati Nak. Salam untuk Ibu dan Bapak."
            Nenek Ijah masuk ke dalam rumahnya dan membuka rizki yang diterimanya tadi. Beliau bersyukur masih ada orang yang peduli dengannya.
            Menunggu waktu buka puasa, Nenek Ijah duduk di kursi rotan kesayangannya. Teringat anak dan menantunya yang telah menelantarkannya hingga menjadi seperti sekarang ini. Hati dan batinnya terasa teriris mendapati perlakuan dari anak yang telah dirawatnya sejak kecil itu.
            Dug…dug…dug…Allahu Akbar Allahu Akbar. Bedug adzan maghrib menyadarkan Nenek Ijah dari lamunannya itu. Tanpa tersadar air mata menetes membasahi pipi Nenek Ijah. Nenek Ijah berbuka puasa dengan penuh sukacita. Secangkir teh manis telah membasahi kerongkongannya yang telah kering.
            Seperti biasa, Nenek Ijah tidak langsung makan. Beliau terlebih dahulu menunaikan ibadah sholat maghrib. Selesai mengambil wudhu Nenek Ijah segera menunaikan kewajibannya sebagai umat muslim. Khusyuk dan tumakninah selalu diutamakann Nenek Ijah. Beliau sadar bahwa diusianya yang sudah tua ini beliau harus memperbanyak ibadah dan beramal sholeh.
            Hari-hari Nenek Ijah berjalan layaknya seperti biasa. Mencari kayu bakar, pulang hampir larut malam dan kemudian esok harinya kayu bakar itu dijual. Hingga pada suatu hari, Nenek Ijah tidak seperti biasanya. Tidak terlihat beliau mencari kayu bakar seperti biasanya. Banyak tetangga yang mengkhawatirkannya.
            Beberapa hari berikutnya Nenek Ijah memang tidak mencari kayu bakar. Ternyata beliau sakit. Entah sakit apa yang menyerang Nenek Ijah. Tetangga di sekelilingnya menawarkan untuk pergi ke dokter, tapi Nenek Ijah tidak mau merepotkan mereka. Disaat seperti ini, Nenek Ijah sangat merindukan anaknya agar bisa merawatnya sepenuh hati. Tapi mungkin keinginannya itu tidak terwujud.
            "Ya Allah Nenek Ijah pingsan. Kita harus membawa beliau ke rumah sakit." Suara tetangga terdengar heboh. Mereka membawa Nenek Ijah yang sedang dalam keadaan pingsan. Mereka semua panik. Sebagian dari mereka pergi ke kota untuk mengabari anak Nenek Ijah dan membawa anaknya itu ke rumah sakit dimana Nenek Ijah dirawat.
            Anaknya sangat terkejut mendengar berita itu. Mereka langsung meluncur ke rumah sakit dimana Nenek Ijah dirawat. Ternyata tanpa disangka-sangka Nenek Ijah menderita Kanker Mulut Rahim. Penyakit itu datang tiba-tiba dan menyerang seorang nenek yang sangat baik seperti Nenek Ijah. Anaknya menangis dan menyesali perbuatannya selama ini. Mereka minta ma'af kepada Nenek Ijah. Nenek Ijah tidak marah dan beliau tetap tersenyum kepada anak, menantu dan cucunya itu.
            Begitulah Nenek Ijah, dalam keadaan sakit separah apa pun beliau tetap menjalankan kewajibannya. Sholat lima waktu tetap sempurna beliau kerjakan, walaupun dalam keadaan tidur. Mengaji pun selalu menjadi amalan beliau.
            Hingga pada suatu malam, ketika beliau selesai sholat kemudian membaca Al Qur'an, nyawa Nenek Ijah diambil oleh Sang Pencipta. Nenek Ijah meninggal dalam keadaan khusnul khotimah. Semua keluarganya menangis dan menyesali kepergian Nenek Ijah, terutama anaknya. Ia menyesal belum bisa memberikan secercah kebahagiaan diakhir hidup Ibunya.
            Do'a terakhir Nenek Ijah,
            Ya Allah…
            Ampunilah dosa dan kesalahan anak hamba Ya Allah…
            Berikanlah kebahagiaan yang kekal kepadanya Ya Allah...

0 komentar:

Posting Komentar